Minggu, 07 Maret 2010

Dari Annida On Line

Q Publisher Luncurkan Antologi “Mimpi Sang Dare”
Diposting: Rabu, 03 Maret 2010 / 09:57:42 | Oleh: annida | Kategori: Berita Penerbit
Halaman ini diakses sebanyak: 35 kali
Rating: 0

Annida-Online—Sebuah buku antologi puisi karya penulis Ida Nursanti Basuni, Mimpi Sang Dare, resmi diluncurkan oleh Q Publisher, di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Isamil Marzuki, Jakarta Pusat, Senin (1/3) lalu. Menarik, karena menurut Maman S. Mahayana, sastrawan yang juga hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut, buku ini mengandung unsur lokalitas yang cukup kuat, dengan Singkawang, kota kelahiran sang penulis, sebagai inspirasi terbesarnya.

“Uniknya, sang penulis menulis hampir semua tema kehidupan yang punya kaitan dengan Singkawang. Mulai dari cinta, keluarga, isu lingkungan hidup, sampai ke ranah politik,” ujar Ahmadun Yosi Herfanda, yang juga didaulat membedah kandungan buku antologi puisi ini.

Maman S. Mahayana, yang juga memberikan kata pengantar pada buku ini berpendapat bahwa Mimpi Sang Dare cukup mewakili kepekaan sang pengarang terhadap kondisi di sekitarnya. “Dan, begitulah seharusnya seorang sastrawan; peka terhadap keadaan persekitarannya sehingga ia mampu mewartakan apa yang terjadi atau keunikan dari daerahnya tersebut,” jelas Maman S. Mahayana.

Maman juga menambahkan bahwa kelebihan lain dari antologi ini adalah kepiawaian sang penulis dalam memainkan metafora alam, membawa para pembaca ke tengah eksotisme alam Singkawang. Hal ini tercermin dalam beberapa puisi seperti "Bayangan Cermin", "Biografi Bangau", "Cerita Hujan", dan lain-lain. Selain tema-tema lingkungan, ragam adat dan kebudayaan etnik di Singkawang tak luput dari perhatian Ida Nursanti Basuni.

“Inilah mengapa kehadiran Mimpi Sang Dare menjadi penting di tengah peta sastra dan kesusatraan Indonesia, karena ia mewakili kebudayaan Singkawang, Kalimantan Barat, yang masih jarang tereksplor secara gamblang,” imbuh Ahmadun.

Selain telaah dan bedah buku yang dilakukan oleh dua pembicara tersebut, acara peluncuran tersebut juga dimeriahkan oleh pembacaan puisi dari beberapa sastrawan yang hadir seperti Khirsna Pabicara, Amin Kamil, Asrizal Nur, Badri AQ, Diah Hadaning, Handoko F. Zainsam, Timur Sinar Suprabana, yang merupakan kawan-kawan karib sang penulis. Aksi teman-teman dari Sanggar Matahari dalam memusikalisasikan puisi juga turut menyemarakkan acara ini. [Nyimas/liputan: Adjie B. Triawisesa, Jakarta]

Rabu, 17 Februari 2010

ANTOLOGI PUISI MIMPI SANG DARE KARYA IDA NURSANTI BASUNI


29 Januari 2010 jam 18:06
CACATAN SINGKAWANG


Sastra –cerpen, puisi, novel, atau apa pun—pada dasarnya merupakan ekspresi kegelisahan sastrawan atas problem yang terjadi dalam kehidupan persekitarannya. Kegelisahan itu sendiri boleh berupa ketakjuban, kecintaan, kebencian atau keprihatinan pada sesuatu. Akibatnya, karya sastra di dalamnya kerap hadir ungkapan pengagungan, kata-kata rayuan, ekspresi kemarahan, bahkan kritik pada sesuatu sebagai bentuk keprihatinannya. Jadi, peristiwa atau hal apa pun yang terjadi di sekitarnya, dan itu diperlakukan sebagai sesuatu yang harus ditanggapi, sastrawan akan menyampaikannya dengan caranya sendiri: melalui karya sastra. Dengan demikian, pewartaan yang hendak disampaikan karya sastra, pada hakikatnya tidak terlepas dari pesan mengenai persoalan yang terjadi atau dihadapi manusia tentang problem kemanusiaan.
Jika demikian, apa bedanya karya sastra dengan warta berita yang ditulis wartawan dan reporter suratkabar, ceramah agama para rohaniawan, pelajaran sejarah atau pendidikan moral yang disampaikan guru-guru di depan kelas? Justru di sinilah uniknya karya sastra. Peristiwa tentang penggundulan hutan atau pencemaran sungai, misalnya, yang oleh wartawan diberitakan dengan berbagai data faktual, atau dengan mengutip ayat-ayat kitab suci sebagaimana yang dilakukan para rohaniawan, atau juga melalui pesan dan serangkaian nasihat guru kepada para siswanya, maka sastrawan akan menyampaikannya dari sudut pandang yang lain, yang mungkin tak terlihat secara kasat mata. Dalam bahasa yang lebih sederhana: sastrawan akan berkata begini yang maksudnya begitu.
Perhatikan puisi yang berjudul “Bayangan Cermin” berikut ini:

Aku melihat cermin pagi tadi. Ada bayangan legam sungai Singkawang. Terapung-apung kilau kotoran dan sisa pembuangan.
Aku melihat cermin pagi tadi. Ada pemulung mengais botol-botol kosmetik yang berlayar di antara sampah sisa limbah.
Menjelang petang eceng gondok berderet-deret mengapung menggoda kumbang.

Dulu kami mandi di sini, berenang berkecipak. Ayah memancing ikan dan sepasang kekasih menabur harapan menjaring ucap. Memandang bening sungai Singkawang.

Malam ini tak ada mimpi. Cermin masih memantulkan bayangan. Ah, ternyata ia tak pernah dusta.

Bukankah puisi itu sesungguhnya hendak mewartakan terjadinya pencemaran Sungai Singkawang? Itulah contoh makna pernyataan: sastrawan akan berkata begini yang maksudnya begitu.
Jadi, peristiwa apa pun yang diangkat ke dalam karya sastra, yang diungkapkan dan disampaikannya, tidaklah seperti apa adanya. Ia telah mengalami proses fiksionalisasi. Fakta di sana mewujud jadi fiksi. Di balik fiksionalitas itulah, keindahan estetik hadir menyeruak dan mengganggu nurani pembacanya. Itulah yang dikatakan, bahwa tugas sastrawan mengangkat peristiwa biasa menjadi sesuatu yang luar biasa.
Mengingat posisi sastrawan yang demikian itu, ia laksana mempunyai hal-hak istimewa yang lazim dikatakan sebagai kebebasan kreasi: licentia poetica. Kebebasan untuk memperalat bahasa sesuai tuntutan kreativitasnya; sesuai dengan harapan hendak menuju capaian estetik karya yang bersangkutan. Kebebasan untuk mengatakan begini yang maksudnya begitu. Tarik-menarik antara semangat mengusung “seni untuk seni” dan “seni untuk masyarakat” sebenarnya juga berkaitan dengan persoalan kebebasan kreasi itu.

***

Uraian tadi sesungguhnya hendak menegaskan di mana tempatnya antologi puisi Mimpi Sang Dare karya Ida Nursanti Basuni ini. Secara tematik, ia berbicara tentang segala persoalan persekitarannya: tentang ibu, ayah, nenek, ladang, hutan, sungai, mitos-mitos Melayu, pasar, masjid, dan segala yang terjadi di seputar kotanya: Singkawang. Dengan cara itu, Ida sesungguhnya mewartakan sisi lain dari sebuah wilayah yang ada di Indonesia. Ini menjadi sesuatu yang tidak hanya spesial, khas, tetapi juga penting untuk memperkaya tema-tema dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Bukankah yang terjadi selama ini adalah bahwa jejak perjalanan kesusastraan Indonesia –seolah-olah—tanpa Singkawang?
Ida Nursanti Basuni sudah berada di jalan yang benar: ia mewartakan sesuatu yang dekat dengan dirinya, dengan kehidupan yang memang diakrabinya sejak kecil. Bukankah kebanyakan sastrawan kita, khasnya penyair (: pemula), di berbagai daerah di Tanah Air ini, cenderung berkisah tentang Indonesia (politik atau persoalan di belahan dunia yang lain) yang sebenarnya berada nun jauh di sana, yang tidak diakrabinya. Atau mengangkat kisah-kisah dunia yang diperolehnya dari buku atau dari sebuah peristiwa di belahan bumi yang lain yang dilihatnya dari televisi dan kemudian membayangkan dirinya berada di sana. Semuanya tentu saja diizinkan dan siapa pun boleh melakukan itu.
Tetapi, dalam antologi ini, Ida Nursanti Basuni berkisah tentang dunia yang memang sejak kecil sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Maka, kita akan menjumpai kisah nenek yang tak pernah beranjak dari tungku dapur, mitos-mitos Melayu, sungai Singkawang yang tercemar, riwayat sang dare, Hikayat Bujang Nadi Dare Nandong, hutan yang meranggas, dan segala peristiwa di seputar kota Singkawang. Itulah tema-tema yang justru memperkaya pengetahuan kita tentang Indonesia. Bukankah Indonesia tidak akan lengkap tanpa Singkawang, seperti juga Indonesia tak akan lengkap tanpa Seluma (Bengkulu), Gunung Kidul (Yogyakarta), Brastagi (Sumatera Utara), Simeuleu (Aceh), Pahuwato (Gorontalo), Tapin (Kalsel), Lingga (Kepri), atau kota-kota lain yang tercatat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari peta Indonesia, meski mereka berada di ujung Nusantara sana atau di entah berantah.
Begitulah, secara tematik antologi ini menawarkan sisi lain dari persoalan yang terjadi di sebuah kota di Kalimantar Barat yang bernama Singkawang: sebuah kota nun jauh di sana yang terkenal juga dengan sebutan Kota Seribu Kuil. Kota yang dalam tahun-tahun belakangan ini lebih dikenal lantaran kehebohan Cap Go Meh. Dengan begitu, ia tidak sekadar menunjukkan sebuah potret sosial-budaya tentang Singkawang, tetapi juga sebagai sebuah pewartaan yang penting sebagai kota yang harus dicatat dalam peta kesusastraan Indonesia. Inilah suara penyair Singkawang yang peduli pada Ibu Budayanya. Kota yang memperlihatkan jati dirinya sebagai wilayah budaya multi-etnik: Tionghoa, Melayu, Dayak, dan Jawa. Dan mereka hidup damai lantaran memuja toleransi.
Sebagai sebuah buku antologi puisi, Mimpi Sang Dare karya Ida Nursanti Basuni ini, mungkin saja kemudian tenggelam dalam hingar-bingar berlahirannya buku-buku antologi puisi lain, karya penyair lain, dari kota lain. Tetapi sebagai sebuah rintisan, sejarah tetap akan menempatkannya sebagai perintis. Jadi, bagaimanapun juga, dari sudut itu, antologi puisi ini tetaplah penting.

***

Budi Darma kerap memlesetkan sebuah larik puisi Chairil Anwar ketika menanggapi kelahiran sebuah karya: “Sekali tidak berarti, setelah itu mati!” Apakah antologi puisi ini akan mengalami nasib sebagaimana yang dikatakan Budi Darma? Perjalanan waktulah yang akan menentukan. Dilihat secara tematik, seperti telah disinggung tadi, antologi ini jelas memperkaya tema-tema puisi Indonesia. Meski begitu, dalam sebuah teks sastra, tema bukanlah segala-galanya. Tema besar yang diangkat dengan kemasan buruk, tetap saja akan terjerumus pada lubang yang dalam. Sebaliknya, tema sederhana yang diolah dengan kualitas kokoh—kuat, niscaya akan menggelinding menjadi sebuah monumen. Lalu, bagaimana pula dengan antologi Mimpi Sang Dare ini? Apakah masuk dalam kategori sebagaimana dikatakan Budi Darma?
Mencermati antologi puisi ini, baik yang terdapat pada bagian “Catatan Petang” (30 puisi), maupun “Awan Singkawang” (30 puisi), persoalan bentuk agaknya tidaklah terlalu menjadi beban. Artinya, bentuk –seperti jumlah kata dalam larik, pola enjambemen untuk membangun rima akhir, atau jumlah larik dalam bait—tidaklah ditempatkan sebagai ikatan. Penyair lebih mementingkan kemengaliran ketika ia memainkan bahasa, memilih diksi, atau memberi tekanan pada pesan. Dengan cara ini, bentuk, apalagi dengan segala permainan tipografinya, tidaklah menjadi bagian dari struktur puitik. Yang dilakukan penyair adalah menumpahkan begitu saja pesan tematik yang coba dibangunnya.
Jika puisi-puisi yang terdapat pada bagian pertama ini disusun seperti pola yang terdapat pada bagian kedua, atau sebaliknya, pesan tematik puisi itu tetaplah tidak mengalami gangguan yang berarti.

Perhatikan puisinya yang berjudul “Biografi Bangau” berikut ini:

Bangau yang terbang saat pelatuk senapan mengincar jantung. Mencari bukit yang aman dari peluru bumi. Mencari jejak kaki kawan yang telah lama hilang. Menjadi tua dan bulu-bulu bercerabutan. Kemudian mencari tempat di mana malaikat menginap.

Secara tematik puisi ini coba mewartakan riwayat seekor bangau yang hidup tak lepas dari serangkaian kecemasan: menghindar dari bidikan para pemburu, mencari bebukitan yang nyaman, dan pada saatnya nanti, ia tokh tidak dapat menghindar dari kematian. Maka, sebelum kematian datang (lantaran ulah pemburu atau karena hukum alam), ia berharap dapat tinggal dekat malaikat. Itulah tafsir tekstual tentang burung bangau. Tentu saja kita dapat menempatkan makna puisi itu sebagai sesuatu yang metaforis. Bukankah kehidupan yang didera kecemasan dan ketaknyamanan sering kali membuat manusia memilih kematian? Jadi, dengan tafsir itu, kita diajak untuk merenungi riwayat kehidupan masing-masing. Dalam konteks itu, puisi tadi seperti hendak menekankan pentingnya ketenangan dan kenyamanan bagi manusia.

Sekarang, apakah makna itu akan berubah jika komposisinya dijadikan begini:

Bangau yang terbang
saat pelatuk senapan
mengincar jantung.
Mencari bukit yang aman dari
peluru bumi.
Mencari jejak kaki kawan
yang telah lama hilang.
Menjadi tua dan bulu-bulu bercerabutan.
Kemudian mencari tempat
di mana malaikat menginap.

Jika persoalan bentuk dan tipografi tidak hendak dimanfaatkan untuk mendukung pesan tematiknya, lalu apa maknanya larik-larik pendek atau larik-larik panjang dalam antologi ini? Ya, itu tadi. Penyair lebih mementingkan kemengaliran. Dan itu sangat terasa pada bagian kedua. Maka sebagai puisi naratif, kemengaliran memang sangat patut dipertimbangkan. Dan Ida Nursanti Basuni tampaknya sangat mempertimbangkan persoalan itu.
Menekankan aspek kemengaliran dengan mengabaikan aspek lain, khasnya dalam puisi, tentu juga mengundang risikonya sendiri. Ida Nursanti Basuni agaknya juga memikirkan problem itu, meski kadang kala tidak terhindarkan terjadinya pengulangan metafora atau diksi dalam sejumlah puisinya. Metafora hujan, musim dingin, kemarau, musim panas dan segala yang berkaitan dengan alam, dapat kita jumpai dalam hampir semua puisinya. Apa artinya ini?
Ada dua hal yang dapat kita tafsirkan, yaitu: penyair memang akrab dengan alam, atau ia masih belum coba mengembangkan lebih jauh pemanfaatan benda-benda alam sebagai representasi diri penyair. Dalam hal ini, penyair masih sebatas menempatkan alam sebagai alat menyuarakan kegelisahannya. Dengan demikian, tampak di sana ada semacam jarak yang memisahkan subjek penyair dengan objek alam. Ringkasnya: alam belum menjadi subjek. Ia masih kelihatan diperlakukan sebagai objek, dan karena itu ada kesan berjarak. Jadi, alam belum menyatu—berintegrasi menjadi aku lirik. Atau, dalam bahasa yang lebih filosofi, antara penyair dan alam atau subjek—objek, belum menyatu sebagai kesatuan tunggal: manunggal ing kawula gusti. Penyair luluh—plek, lesap-masuk dan menjelma pohon, air, hutan, batu, langit, dan seterusnya.

Perhatikan puisi berjudul “Cerita Hujan” berikut ini:

Angin bertambah dingin malam ini
mendendangkan layu perasaan
yang sempat terjamah
hujan terus mengalir seperti buliran amarah,
yang membabat habis ladang kerinduan
dan reranting kering yang berserakan di tanah-Mu

Apalagi yang akan kuharap dari sang lelap?
selain luka yang telah membusuk
meski rindu pada tanah-Mu,
berselumbar benci
mempertebal sesal

Perhatikan judul puisi ini: “Cerita Hujan”. Secara metaforis judul itu dapat kita tafsirkan sebagai cerita tentang hujan atau cerita (yang disampaikan) hujan. Jika cerita tentang hujan, maka bait pertama mewartakan sebuah peristiwa banjir akibat hujan yang menggusur leladang (pesawahan) dan segala isinya. Dikatakannya: hujan terus mengalir seperti buliran amarah/yang membabat habis ladang kerinduan/dan reranting kering yang berserakan di tanah-Mu//
Sebelumnya, dikatakan: Angin bertambah dingin malam ini/mendendangkan layu perasaan/yang sempat terjamah/ yang menggambarkan suasana duka-lara, meski angin boleh saja kita tafsirkan sebagai sesuatu yang menambah beban derita. Dalam keadaan seperti itu, bencana datang melalui hujan yang menjelma banjir, menghanyutkan dan memusnahkan segalanya.
Lalu, bagaimana hubungannya dengan bait kedua? Apalagi yang akan kuharap dari sang lelap?/selain luka yang telah membusuk/meski rindu pada tanah-Mu,/berselumbar benci/mempertebal sesal// Di sini, ada aku lirik yang bertanya: Apalagi yang akan kuharap dari sang lelap? Jika begitu, si aku lirik itulah yang bercerita tentang hujan. Tetapi, apa yang dimaksud dengan sang lelap? Kemalasan, keterlupaan, atau kelalaian? Oh, ternyata ada tragedi di sana, ada duka lara yang dalam kedukaan itu, ingat Tuhan (rindu pada tanah-Mu), meski dibalut kebencian dan penyesalan.
Tentu tafsir ini bukan satu-satunya yang mungkin. Tetapi setidak-tidaknya, itu memperlihatkan bahwa ada jarak yang jelas antara hujan, tanah, ladang, dan seterusnya dengan kondisi kedukalaraan si aku lirik. Itulah yang saya maksud dengan keberjarakan antara subjek (aku lirik) dengan objek (hujan). Aku lirik tidak lebur menjadi hujan yang kemudian bercerita tentang akibat-akibat yang ditimbulkannya. Jika demikian, bait kedua lebih menegaskan bahwa alam yang tidak bersahabat itu (bait pertama), telah makin menghancurkan harapan si aku lirik (bait kedua), yang disadarinya sebagai bentuk harapan kepada Tuhan, tetapi juga tak yakin dengan keadaan dirinya yang berselumbar benci dan yang makin menambah penyesalan. Kesimpulannya: puisi itu mewartakan bencana akibat hujan deras yang menjelma banjir dan memusnahkan segalanya.
Dengan adanya keberjarakan itu, judul puisi tadi jelas bukan cerita (yang disampaikan) hujan, melainkan cerita tentang hujan. Sebagai puisi, penyair boleh saja mewartakan apa pun. Dan bagi saya, apa yang disampaikan dalam hampir keseluruhan puisi dalam antologi ini menunjukkan, bahwa metafora alam dimanfaatkan sebagai alat yang dapat dianggap dapat merepresentasikan suasana (fisik, perasaan, pikiran, bahkan hati) yang hendak digambarkan penyair. Dengan itu pula, makin jelas bahwa penyair memang sangat dekat dengan lingkungan alam yang boleh jadi kerap memberinya inspirasi yang lalu mengganggu suasana hati.
Selain metafora alam yang begitu banyak bertaburan dalam keseluruhan puisi yang terhimpun dalam antologi ini, persoalan sosio-budaya –atau yang dalam bahasa Sutardji Calzoum Bachri—sebagai Mak Budaya, juga seperti menjadi bagian yang ikut menggelisahkan Ida Nursanti Basuni. Dalam kasus ini pun, kembali Mak Budaya atau problem kultural diperlakukan sebagai sesuatu yang diamatinya; sebagai objek kisahan si aku lirik, seperti juga puisi-puisinya yang bercerita tentang nenek, emak, ayah, sang dare, pasar, masjid, sosok lain atau hal tertentu sebagai sesuatu yang perlu dikisahkan.
Mitos tentang legenda dunia Melayu dengan segala filosofinya, belum menjadi ruh yang menyebar menjadi tulang, darah, daging, dan kulit puisi. Maka, puisinya yang berjudul “Hikayat Bujang Nadi Dare Nandong” masih sebatas pewartaan tentang legenda itu yang (mungkin) memberinya inspirasi.
Bahkan, sejumlah puisinya yang lain yang mengisyaratkan problem kultural dunia Melayu (Sambas), seperti puisinya yang berjudul “Menepikan Adat,” “Makan Sirih,” “Tentang Dare dan Uma,” “Sajak di Tepi Siok,” atau “Riwayat Dare” masih belum berajak dari posisinya sebagai pengamat, sebagai orang Melayu yang bercerita tentang mitos masa lalu. Penyair belum dapat masuk sebagai bagian dari masa lalu itu. Maka, yang muncul kemudian adalah menempatkan dirinya dalam sebuah garis demarkasi yang memberinya jarak waktu.
Semangat Ida Nursanti Basuni yang coba mengangkat problem kultural, tentu saja patut memperoleh apresiasi. Meski begitu, jika penyair coba masuk lebih jauh dan memahami makna di balik segala mitos itu, niscaya ia tidak sekadar berhasil mewartakan mitos masa lalu, tetapi juga mengelindankannya sebagai bentuk estetik yang coba ditawarkannya. Ingat saja langkah Ibrahim Sattah, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ikram Jamil, Marhalim Zaini, Abdulkadir Ibrahim, Lawen Muchtar, dan sejumlah penyair Melayu yang berada di kawasan Riau. Ruh Melayu dengan segala filosofi dan kegelisahannya diperlakukan sebagai sumber dan sekaligus muara.
Sebagai “tetamu” tentu saja saya sangat memahami posisi Ida Nursanti Basuni. Langkahnya masih panjang untuk coba memahami diri, membongkar akar, dan menerjemahkannya sebagai landasan menuju capaian estetik. Jadi, sambil sekalian meneguhkan bentuk, ia masih perlu bolak-balik menyusuri masa lalu Mak Budayanya dan melakukan tafsir dalam konteks masa kini. Jika begitu: berat nian tugas penyair! Ya, itulah risiko dari langkah yang sudah dipilihnya. Jika selesai sampai di sini, maka berlakulah pernyataan Budi Darma: “Sekali tidak berarti, setelah itu mati!”

***

Hal lain yang juga patut diperhatikan Ida Nursanti Basuni adalah kegemarannya menggunakan diksi atau metafora-metafora yang sama yang sebenarnya dapat saja menggunakan metafora yang lain atau idiom lain yang maknanya sama. Cermatilah pemakaian metafora mimpi, rembulan, musim, hujan, dan seterusnya sebagai manifestasi pengharapan. Sejumlah kata lain, juga sering kali menekankan makna yang sama.
Apa artinya itu? Bagi saya, selain tampak bahwa penyair masih mencoba menggelandangkan dirinya dalam rangka menemukan pengucapan yang pas, yang dapat sepenuhnya mewakili ekspresi kegelisahannya, juga ia belum dapat keluar dari pergulatan batinnya sendiri tentang langkah yang hendak dipilihnya. Jadi, sesungguhnya, kesadarannya untuk menentukan pilihan, penting artinya untuk melanjutkan segala implikasi atas pilihannya itu. Tanpa kesadaran itu, niscaya ia akan terjerembab dan masuk pusaran yang malah makin menyulitkannya untuk lepas dari segala bayang-bayang. Dalam bahasa yang agak metaforis: Ida harus mencampakkan gelas yang digenggamnya, agar ia tak dihantui ombak dalam gelas.

***
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bagi saya, buku antologi puisi Mimpi Sang Dare ini, tetaplah memberi pengaharapan. Dalam konteks itulah, antologi ini mesti ditempatkan secara proporsional. Sebagaimana penghayatan saya pada sebuah ayat dalam kitab suci saya: Jadi, maka jadilah! tidaklah seperti mantera silsalabim atau tipu daya para pesulap. Jadi, maka jadilah! adalah sebuah proses panjang pencarian. Dan Ida Nursanti Basuni masih harus menghadapi proses panjang pencarian itu!
Akhirnya, pengantar ini harus saya tutup dengan satu kata mujarab: Tahniah!

Seoul, 27 Januari 2010 Maman S Mahayana

Buku Antologi Puisiku yang pertama....Mimpi Sang Dare

Senin, 23 Maret 2009

MEGAWATI

Mega wati orasi

Jumat, 13 Maret 2009



Kamis, 12 Februari 2009

memoar